Sabtu, 31 Oktober 2020

Tukang Parkir Pelit

 Dia Takdirku tetapi Bukan Jodohku

-Sujiwo Tejo-

Menikah itu nasib, mencintai itu takdir.

Kamu bisa berencana menikahi siapa saja, tapi tak dapat kau rencanakan

CNTAMU untuk siapa. 


Part 2: Tukang Parkir Pelit

“Harusnya kamu tidak memberikan waktumu jika kamu tak berniat memberikan hatimu”     Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan bergumam pada diriku sendiri yang  resah di ujung malam. Ini membuatku tercengang pada diriku sendiri, hei... ada apa denganku? Malam sudah selarut ini dan ke mana selera tidurmu yang tak tahu diri itu??? Entah! Sambil menatap sosok pada cermin yang bergantung pada dinding bisu itu aku tersenyum sinis pada diriku sendiri dan berbisik dengan takut “dasar bodoh”. Ya... dia memang benar, namun sejak kapan aku sebodoh ini?

            Pagi itu ponselku berdering dan kudapati tertera panggilan atas namanya pada layar ponsel. Hi Jo... bla bla bla. Itu memang namanya, pria sederhana yang kukenal begitu saja, yang suka bercerita tentang dirinya, dan melucu hanya agar aku tertawa. Banyak waktu yang harus kuhabiskan hanya untuk menerima telpon darinya yang tak kenal waktu, mendengarkan celotehnya juga menikmati tingkahnya yang lucu. Jo... memang itu namanya hanya saja aku lebih suka memanggilnya ‘si tukang parkir’. Sayangnya di balik tingkahnya yang lucu, kadang dia menyebalkan dan aku punya julukan lain untuknya yaitu ‘si pelit’. Aku lupa alasan persisnya kenapa aku menyebutnya si pelit namun baginya aku hanya punya satu nama yaitu ‘si bawel’.

            Si tukang parkir pelit itulah julukan yang kuberikan untuk pria asing yang tiba-tiba masuk dalam hidupku. Setelah kurenungkan dalam-dalam, aku bergumam dalam hati dengan tanya yang tak pernah terjawab: mengapa Tuhan mengijinkannya masuk dalam hidupku? Aku tak berniat memberikan hatiku, namun setiap hari aku memberikan waktuku. Tak bisa kubohongi diriku bahwa hatiku merasa bahagia akan kehadirannya. Hanya saja aku diam-diam meminta pada diriku untuk tidak berharap bahwa dia adalah takdirku, ya... karena dia tak seiman denganku. Berbeda harusnya tidak menjadi alasanku untuk menolak diam-diam kehadirannya. Sayangnya, siapa yang menyangka bahwa setelah sekian banyak waktu yang dilalui bersama, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya dan nyaman dengan semua tentangnya.

            Lanjut part 3


Selasa, 13 Oktober 2020

Berawal dari kata BODOH

 

Dia Takdirku tetapi Bukan Jodohku

-Sujiwo Tejo-

Menikah itu nasib, mencintai itu takdir.

Kamu bisa berencana menikahi siapa saja, tapi tak dapat kau rencanakan

CNTAMU untuk siapa.

Part 1: Berawal dari kata BODOH

Kalau saja tak pernah Tuhan mempertemukanku dengannya, mana aku tahu artinya RINDU? Sayangnya Tuhan hanya mengijinkanku untuk mencintainya, bukan menikah dengannya. 

             Di sebuah lorong yang dihimpit oleh hiruk pikuk hati yang tak pernah saling mengenal, di sana aku menemukan pria satu-satunya yang pernah membuat aku sampai kehilangan akal sehatku. Pria sederhana yang karenanya aku memiliki segudang cerita indah yang ingin aku kenang di sisa hidupku. Sehebat itu kah dia? Itulah takdir yang membawanya ke dalam hidupku. Mau sejuta kali aku bertanya dalam kebodohanku: mengapa harus dia? Mengapa??? Jawabannya sudah jelas hanya satu yaitu bahwa : "hanya karena dia takdirku!"

              Ah... apalah dayaku kalau memang dia takdirku. Aku bersyukur dalam setiap sujudku bahwa aku boleh diijinkan mengenalnya di hidupku, bahwa dia pernah membuatku tersenyum, tertawa, menangis dan lebih besar dari itu adalah merasakan gelora dari sebuah rasa yang diberi nama rindu. Rindu yang sebelumnya tak kupunya untuk siapa pun, sekejap jadi miliknya, siang dan malam dalam setiap detak waktu yang melaju hanya ada dia.

                Ke mana  hilang semua kewarasanku? Hanya karena satu orang pria, ya... pria yang berani-beraninya mengataiku bodoh. Hanya karena mengataiku seperti itu aku terpesona. Payah bukan? Aku pikir dia ada benarnya, selama ini aku tak pernah menyadari betapa bodohnya aku dan dia hadir mengatakannya berulang kali sampai tak mampu kuhitung berapa jumlahnya. Aku tak marah padanya, aku malah merasa lucu atas kepolosannya saat mengataiku seperti itu, hanya dia pria yang berani mengatakan itu padaku. Kata yang jarang kudengar dilemparkan padaku sepanjang hidupku. Haruskah aku mengumpatnya dalam hati: "Dasar pria jahat, hanya karena mengataiku bodoh aku jadi terus memikirkannya karena merenungi kata BODOH". Apakah aku memang sebodoh itu???

Lanjut part 2